Ririn Ngeblog

Posts Tagged ‘Gorontalo

Apa kabar Gorontalo ?
Apa kabar kenangan pada puluhan kilo ?

Malam ini saya memutar kembali semua kenangan. Malam ini saya rindu kampung halaman. Mendadak saya ingin pulang.

Sudah berapa lama saya tidak pulang ?

Malam ini saya teringat Danau Limboto yang sayup-sayup hilang dan mengering digerus waktu. Sama seperti kenangan saya yang perlahan mati kutu.

Saat ini saya terkenang Benteng Otanaha yang semakin kuat dan menua dihempas zaman. Sama seperti kenangan saya yang lamat-lamat menua dalam ingatan.

Kemudian saya terperanjat pada Hutan Nantu yang hadirnya bagai ratu. Sama seperti dia yang keberadaannya perlahan menjadi batu.

Lalu saya berjalan menyusuri Pantai Leato, menikmati setiap sentuhan pasir putih dan karang kering. Sama seperti menyusuri pikiran saya saat ini yang letih dan tersaring.

Sampai di tengah kota, saya terperangah pada Masjid Baiturrahim dan Baiturrahman yang menawan. Sama seperti dia yang menghangatkan dan membuat nyaman.

Lalu saya berteduh di bawah Menara Keagungan yang tegak menjulang membelah angkasa. Seperti kenangan ini yang tiba-tiba membawa asa dan mengudarakan rasa.

Terakhir, saya menepi di sudut Taman Kota, menikmati dan meresapi bunga dan rumput-rumput liar yang menghiasi. Sama seperti hati ini yang tak pernah lelah mengasihi.

~

Sudah berapa lamakah saya tidak pulang ?

Ah, saya rindu kampung halaman. Sama seperti saya rindu dia dan kenangan.

Dan, mendadak saya ingin pulang.

(Depok, 17 Februari 2012)

Posted with WordPress for BlackBerry.

Sebuah perjalanan dan cerita di Tapaluluo, harapan yang terasing (PART 3)

Tak mudah melalui jalan yang akan kami lewati ke Tapaluluo. Jalan berbatu, berliku, dan naik turun, dengan tebing dan jurang di kanan kiri jalan, dan matahari yang bersinar terik kontras dengan udara alam bebas yang sejuk dan dingin, tiga sungai kecil yang jernih, lengkap sudah menghiasi perjuangan kami pada siang itu. Rasa lapar dan haus di tengah hari ini berusaha kami indahkan dan kami nikmati.

Sepeda-sepeda motor kami terombang-ambing di jalan berbatu dan berdebu. Kami melaju beriringan dengan pola zig-zag, menghindari loncatan batu dan semburan debu yg ditimbulkan sepeda motor di depan. Insiden “terjatuh” dari motor yang cukup dramatis mewarnai perjalanan ini. Aku dan Anggie, dua Srikandi tangguh, termasuk korban yang jatuh dari peraduannya.

Aku yang dibonceng Kak Vicky, ambruk dengan caranya yang unik. Aku dan Kak Vicky begitu gembira menikmati euphoria perjalanan, apalagi ketika kami hampir berhasil melewati sungai yang pertama, yang jalannya seperti menapaki mangkok cekung. Sedikit lagi kami mencapai puncak, sedikit lagi kami mencapai batas cekung dengan jalan yang lurus, tiba-tiba kami tertarik gaya gravitasi. Bukan main ! Sepeda motor kami turun dengan kecepatan yang pelan tapi pasti. Aku dan Kak Vicky pun terjatuh. Kak Vicky jatuh ke sebelah kanan motor, dan aku ke sebelah kiri. Jatuh yang sangat ironi dan gak kompak, berlawanan arah, persis formasi dancing anak SD pada abad 21.  Bagaimana mungkin sepeda motor kami yang melaju pasti menanjaki jalan, tiba-tiba turun ke arah sungai, seakan memanggil-manggil kami untuk mandi ? Ah, bagiku ini menunjukkan bahwa ketika sedikit lagi kita mencapai puncak, setidaknya minimal kita harus gagal sekali untuk membuat puncaknya lebih sempurna, aku berteori.

Melihat aku dan Kak Vikcy yang terjatuh, Kak Eca yang berada di belakang kami yang berniat menolong kami juga ikut terjatuh. Motor Kak Eca juga oleng sebelum mencapai puncak, dan bahkan sebelum menolong kami. Sekali lagi teoriku terbukti. Selamatkanlah dulu dirimu sendiri, sebelum menyelamatkan orang lain, agar kamu dan orang lain itu juga ikut selamat, aku berteori lagi.

Beras satu liter lebih dan telur satu butir yang dengan senang hati aku bawa dari rumah bertebaran di sekitarku diakibatkan plastik yang menampungnya tak cukup kuat untuk membuat beras dan telur itu menjadi santapan lezat saat buka puasa nanti. Anehnya, saat bangun dari tempatku terjatuh, aku merasakan sensasi yang luar biasa , yang mengaktifkan sel-sel otakku untuk melepaskan endorphin. Aku senang luar biasa, tertawa sejadi-jadinya. Bukan maksud menertawakan Kak Vicky yang terlihat panik dan kesakitan, bukan pula bermaksud menertawakan niat baik Kak Eca yang tak kesampaian, tapi dalam penglihatanku perjuangan ke Tapaluluo ini menjadi sangat indah. Dahsyat ! Pada hal-hal tertentu, terjatuh bisa menjadi hal yang sangat indah.

Kamipun melanjutkan perjalanan dan berhasil menyusul rombongan lainnya yang sudah jauh di depan. Akupun dipindahkan ke ojek motor yang kami sewa, sedangkan kak Vicky dibonceng senior yang lain. Mendengar ceritaku, kami mengatur formasi lagi. Mereka sepakat, para Srikandi harus bersama orang yang sudah professional melalui jalan ini, yaitu panitia yang sudah survey sebelumnya dan abang-abang ojek yang kami sewa.

Bersama abang ojek, aku menikmati perjalanan ini. Tarikan gasnya yang tepat, kadang pelan seakan menyuruhku meresapi alam, kadang cepat seakan menyuruhku untuk berkenalan dengan angin yang mengibar-ngibarkan rambutku, sekali lagi membuat euphoriaku bertambah parah.Yihaa, EUREKA !!  Dalam perjalanan aku senyum-senyum dan tertawa-tawa, seperti orang gila. Memori abang ojek yang kuat tentang kondisi jalan, pengetahuannya yang luas tentang liku-liku jalan dan cara menghindari batu-batu yang menghadang, membuatku selamat sampai Tapaluluo.  Seperti kata Kak Awal padaku, di tangan pembawa motor, nyawamu ini sedang dititipkan, dan ditangan tukang ojek inilah nyawaku ini dijaga dengan baik.

Ternyata masalah terjatuh dari perjuangan dalam perjalanan ini sederhana saja, titipkanlah saja hati dan pikiranmu pada joki yang tepat, maka kamu akan selamat dan tak akan berakhir sia-sia. Sesederhana itu.

Dalam perjalanan ini hatiku ditampar untuk lebih melihat peran orang lain yang selama ini kita abaikan. Dalam hal ini, hatiku ditampar untuk lebih menghargai tukang ojek, khususnya ojek yang membawa kami ke Tapaluluo. Mereka-mereka inilah yang rutin membawa manusia-manusia keluar masuk Tapalulo, entah itu membawa warga Tapaluluo ke pasar, atau membawa warga di luar Tapaluluo seperti kami ini untuk berkunjung. Menurutku, mereka adalah pejuang kelas satu. Mereka membawa harapan Tapaluluo yang sederhana menjadi harapan yang lebih maju, dan ditangan mereka pula harapan warga Tapaluluo dihampiri pemuda bersemangat seperti kami. Sungguh pekerjaan yang mulia menurutku.

Sebuah perjalanan dan cerita di Tapaluluo, sebuah harapan yang terasing (PART 2)

 

SRIKANDI, begtulah sebutan kak Tomy untuk kami. Wanita-wanita bersemangat tinggi, begitulah sebutanku untuk kami. Ternyata bukan cuma aku dan Vira yang menjadi wanita dalam rombongan kali ada, ada Anggi dan Isni yang turut menggenapi.

Bagiku, kami berempat adalah wanita-wanita yang mewakili simbol alam semesta. Air, api, tanah, dan udara. Vira mewakili simbol tanah, begitu membumi dan mumpuni, dengan taktis dan kerendahan dirinya Vira disukai ibu-ibu dan anak-anak Tapaluluo dengan candaannya yang ringan. Isni mewaikili simbol air, tenang, lembut dan diterima, dengan gerakannya yang pasti, Isni menjadi sangat diterima oleh ibu-ibu Tapaluluo dalam membantu urusan rumah tangga dan konsumsi. Aku melambangkan api, bersemangat, cepat, dan lincah kesana kemari persis seperti nyala api yang meliuk-liuk, dan tentu saja kehadiranku cepat diterima anak-anak kecil yang memang lincah dan suka berlari. Anggie seperti udara, bebas kemana saja, menyelip dimana saja, dan dibutuhkan, semuanya bisa beradaptasi dengannya. Semua elemen itu penting dan dibutuhkan, persis seperti kehadiran kami.

Kami dinamai ummi, bunda, ibu dan mimi oleh anak-anak kecil di Tapaluluo. Dan semua itu berarti satu, yaitu ibu. Kami adalah ibu bagi Negara ini, bagi Gorontalo, bagi HPMIG, bagi Tapaluluo, dan bagi anak-anak kami sendiri nantinya. Dan kami berharap dengan semangat kami, akan terlahir semangat-semangat tinggi lainnya untuk membangun negeri ini.

Kami memang cuma berempat. Tapi kehadiran kami sangat berarti. Kami menghadirkan nuansa kelembutan sekaligus ketangguhan dalam pengalaman kali ini. Kenapa cuma empat ? Apakah angka ini seiring dengan jumlah pejuang dan pemimpin perempuan yang terbilang sedikit ? Ataukah angka ini terkait dengan fungsi perempuan yang hanya melengkapi ? Bagiku angka empat ini bukan simbol diskriminasi terhadap kaum kami, tapi angka ini adalah awal semangat kami untuk berkontribusi pada daerah dan negara yang sangat kami cintai. Harapan kami tidak muluk, cukup dengan kehadiran kami yang memberikan warna bagi orang lain dan memancarkan cinta. Kalau menurutku , sebutan Kartini dan Srikandi masa kini akan kami sematkan dalam hati agar semangat kami tetap terpatri.

HIDUP SRIKANDI !! HIDUP Ummi, Bunda, Ibu, dan Mimi .^^.

Kak Tommy (Ketua Umum HPMIG) & SRIKANDI. yeaayyy

Vira. Tanah. Ummi

Isni. Air. Ibu

Ririn. Api. Bunda

Anggi. Udara. Mimi

Sebuah perjalanan dan cerita di Tapaluluo, sebuah harapan yang terasing (PART 1)

Pagi itu, saat aku baru bangun tidur, aku mendapatkan SMS, BBM, dan satu telfon yang semuanya tentang ajakan untuk ikut Ramadhan Camp dari HPMIG (Himpunan Pelajar Mahasiswa Indonesia Gorontalo) di desa Tapaluluo, Gorontalo. SMS, BBM dan satu telfon semuanya mengingatkanku agar berkumpul tepat pukul 09.00 pagi di sekretariat HPMIG dengan membawa semua perlengkapan yang dibutuhkan. Aku melihat jam, oh sial, sekarang sudah jam 8 dan itu berarti aku hanya punya waktu satu jam untuk menyiapakan diri dan segala sesuatunya.

Semua tergantung niat. Alhamdulillah karena niatku yang sangat ingin mengikuti Ramadhan Camp, akhirnya dalam waktu satu jam lebih sedikit, semua alat tempurku ; ransel hasil pinjaman, beberapa baju, alat mandi, beras 1 liter lebih, telur dua butir, sandal teplek, Al-Quran dan blackberry telah siap ku bawa. Alam bebas sambut aku. Udara segar sambut aku. Tapaluluo peluk aku. Yuhuuuuu. Semangatku berapi-api.

Aku janjian untuk berangkat bareng Vira, cewek manis keibuan, sahabatku sesama anggota organisasi HPMIG. Jam 9 lebih sedikit *hehe, ini namanya telat tapi gak mau ngaku , aku tiba di rumah Vira. Rencananya aku dan Vira tak perlu datang di sekret HPMIG, cukup duduk tenang dan gembira di rumah Vira, menunggu jemputan dari Kak Milan , penanggung jawab dari seluruh rangkaian acara Dies Natalis HPMIG.

Waktu menunjukkan pukul sepuluh. Semangatku dan semangat Vira untuk berangkat masih sama, menggebu-gebu. Sambil bercerita banyak hal, tentang cinta dan hidup , aku dan Vira menghabiskan waktu menunggu. Jam menunjukkan pukul satu. Semangatku dan semangat Vira mulai menurun, satu demi satu.

“ Hmm, ini jadi berangkat gak ya ? Molor berapa jam dari rencana awal nih “, aku dan Vira mengeluh.

“ Kita tunggu sampai pukul tiga yuk “, ujarku pada Vira, berusaha menumbuhkan semangat yang dari tadi pagi sudah menyala.

Seakan tak mau dikalahkan waktu, aku dan Vira mencari kegiatan seru, bermain dengan anak-anak yang masih keluarga dengan Vira. Permainan tradisional yang kami mainkan siang itu. Aku dan Vira sepakat untuk mengenalkan kembali permainan tradisional yang banyak manfaatnya pada anak-anak zaman sekarang yang tengah dikuasai permainan teknologi dan modern.

Waktu menunjukkan pukul tiga. Saat itu sekali lagi semangatku dan semangat Vira untuk mengikuti Ramadhan Camp sudah mulai sirna. Menunggu terlalu lama sepertinya memang akan membuat harapan dan semangat menghilang begitu saja. Di tengah ketidakpastian menunggu kabar dari panitia Ramadhan Camp, akhirnya aku dan Vira dijemput juga. Dengan berkendara motor dan formasi 3 2 1 ; tiga baris, dua orang, dan satu lajur, kami berangkat. Disertai bendera HPMIG yang berkibar-kibar, kami membawa semangat ke Tapaluluo. Alhamdulillah, semangat yang dari tadi pagi memang sudah ada, kini membara. Semua memang tergantung niat, Tuhan masih membiarkan aku dan Vira agar tak jadi ngambek , dan tetap mengikuti Ramadhan Camp. Sekali lagi, alam bebas sambut aku.

Rombongan motor yang membawaku dan Vira akirnya sampai di sungai pertama, kata kakak-kakak lainnya ini sungai perbatasan. Dan masih kata mereka, perjalanan ke desa Tapaluluo masih panjang. Kalau menurutku, ini sungai yang membatasi jalan mulus dan jalan berbatu, sungai yang membatasi kehidupan kota yang maju dan desa yang syahdu. Di perbatasan sungai ini tampak wajah-wajah riang sepertiku, wajah gembira dan semangat yang menghampiri mereka dalam kegiatan Ramadhan Camp ini. Satu persatu aku menghampiri, memperhatikan, dan bercengkrama dengan mereka. Kata Kak Milan, semua yang berkumpul sekarang ini berjumlah 17 orang. 17 orang. Cuma 17 orang yang ikut. Dari sekian banyak anggota HPMIG, yang bisa ikut cuma 17. Dan aku termasuk bagian dari 17 orang itu.

inilah sungai perbatasan itu. sejuk kan ? 🙂

“ Tak apalah, 17 orang ini lah yang nantinya akan membangun Gorontalo “, ujar Kak Tomy, ketua umum pengurus besar HPMIG, dengan bijak disertai senyum khasnya yang pasti nan menyenangkan.

Kenapa Cuma 17 ? Ah, tak jadi masalah buatku. Bagiku angka 17 ini adalah berkah. 17 Agustus kali ini bertepatan dengan 17 Ramadhan bulan ini. Dan itu berarti, 17 menurutku adalah jumlah yang menunjukkan kebebasan, doa, dan semangat. 17 inilah yang dengan bebas menunjukkan semangat, harapan, dan doa terbaik untuk warga Tapaluluo dan Gorontalo nantinya.


This is me .^^.

HALO , ini Ririn. Mahasiswa Psikologi UI 2009. Asal GORONTALO. Senang menulis, berkhayal, tertawa, menertawakan kekonyolan, bergadang, makan, tidur. Kisah-kisahku, keluarga, teman-teman, guru, dosen, hewan-hewan, orang tak dikenal dan makhluk tak dikenal sekaligus ada disini. Ada yang konyol bikin tolol, ada yang seru bikin terharu, ada yang sedih bikin perih,ada yang gembira bikin ceria, tapi tetep inspiratif dan bermakna. So, Enjoy it .^^.

Kalender

May 2024
M T W T F S S
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Categories

Blog Stats

  • 16,611 visitors