Posts Tagged ‘angkot’
Mencari Cerita, Mencari Bahagia
Posted 17 September 2011
on:
Dalam angkot ini, aku bersama orang tua terjebak di keramaian kota. Aku dengan dandanan biasa, dan mereka dgn pakaian kondangan berenda. Di antara 3 ibu tua dan 2 bapak tua, ada yg paling tua, ibu tetua namanya. Berjilbab putih , berbaju kembang merah, kontras dengan wajah.
Wajah Ibu tetua dulu sepertinya cantik. Matanya cokelat, hidungnya mancung. Tapi rautnya sepi. Mulutnya sunyi. Sesaat, mulut sunyi itu komat-komit. Bismillah bismillah. Itu katanya.
Melihat ibu tetua, terbayang sudah wajah nenek, yg menumbuk segenggam kacang di rumah. Seperti inikah rasanya ? Menjadi tua ?
Tiba-tiba ibu tetua bercerita pd ibu disamping, anaknya dulu kuliah di Jakarta, kerja di Jakarta, nikah di Jakarta. Makanya ia ke Jakarta. Sampai di Jakarta, berharap bahagia bersama anaknya. Tapi dia dititipkan di panti werda. Untuk sementara, begitu kata anaknya. Sementara yang akan menjadi selamanya, begitu kata ibu tetua. Berusaha mengerti, tapi tak memahami.
Kata ibu tetua pada ibu disampingnya, ternyata ia bahagia di panti werda, tapi rindu pada anaknya itu semestinya lebih bahagia. Kemudian mulut itu sunyi lagi. Mata itu sendu lagi. Rindunya selesai. Seperti itukah menjadi tua ? Harusnya bahagia.
Akupun berganti angkot. Berharap menemukan cerita lain, lebih bahagia. Alhamdulillah, angkot ini isinya anak-anak. Dunia anak kan berwarna.
Sedang asik memperhatikan tingkah anak-anak, masuk pengamen. Bernyanyi ” Kau jaga slalu si gendut, tunggu aku kembali ”
Aku mengernyit. Kenapa liriknya jaga slalu si gendut ? anak itu memang kurus. apakah secara tak sadar dia ingin menjadi gendut ?
Selesai bernyanyi, dia mengulurkan tangan, mengambil amplop yang sebelumnya dibagi-bagi. Diraba, dibuka, dan dicermati. Ternyata amplopnya sebagian besar tak berisi. Dia kecewa sejadi-sejadi. Dihempaskannya amplop ke jalan, membuang ladang rezeki, basi.
Anak itu kemudian duduk menatap penumpang, termasuk aku. ” Kasih donk, kak. Kasih donk. KASIH DONK ” . Dia memaksa, antara pasrah dan marah. Semua diam bergeming. Termasuk aku, mengamati. Anak itupun pergi. Meloncat lirih. Masih dengan tampang marah.
Seperti itukah ? Menjadi anak-anak ? Sudah mengenal marah dan kecewa yg parah ? Hatiku gerah.
Ataukah, seperti inilah Jakarta ?
” Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan, sayang engkau tak duduk disampingku kawan ” alunan lagu dari angkot ini mengejekku.
Ya, inilah Jakarta. Mendadak aku ingin pulang. Mencari bahagia.
– Dalam perjalanan dari Jakarta menuju Depok, 18 September 2011, ketika bahagia itu harus dicari, bukan menghampiri –